Selasa, 29 Januari 2008

Minggu, 27 Januari 2008

Aku dalam Kilasan

Dua orang penyanyi belanda berkunjung ke Pegirikan, Surabaya, Desember 2007. Saya sedang berbincang dengan salah satunya, Suzanne Marie Klemman. Saya mendampingi keduanya dalam kunjungan ini.




Tengah November 2007 , saya mendampingi artis Korea Selatan Han Go Eun mengunjungi Karlina"Dora", anak pengupas kerang di Jakarta


2006 tersesat sendirian di Paris. Sok yakin keluar dari bandara Charles De Gaulle karena harus transit 15 jam di Prancis sblm pulang Jakarta dari Afrika. Berbekal bahasa Prancis dari Pak Gondho dulu dan peta kota paris yang saya ambil dari Air France, naik bus bandara seharga 12 euro (pp), turun di L'Arc de Triomph jam 6.30...menyusuri jalan D'Iena yang masih sepi. Ada pasar kaget di sabtu pagi itu. Ambil foto dengan beberapa imigrant. Beli beberapa croissants. Seorang Perancis berhenti dari mobil, membuka kaca jendela, dan panggil saya. "you are asian..." dia tanya. "I got drunk, fiesta, no money, want this suit...." Dia menunjukkan stelan jas. "Originale, from Italy", lanjutnya, "500 euro" tawarnya.... Gile bener, saya sedikit lemas lutut karena mungkin saja dia penjahat, pencuri.. Kata saya, "I have no money". "Allez, how much for you?" rayunya. Tapi saya ngedhek saja. Langsung jalan...terus...Setelah kurang lebih 3 km, sampai di La Tour Eiffel yang terkenal itu... Luar biasa...ratusan orang mengantr ingin naik keatas menara itu. Saya gak sanggup dech... terus jalan menyusuri sungai Seine menuju Place de La Concorde, terus ke Jardin de Tuilleries, nongkrong sambil makan sandwich di pinggir jalan. Jalan terus lagi menyusuri Avenue des Champs Elysees kembali ke L'Arc de Triomph untuk menunggu bus jam 4 sore. Trotoar Des Champs Elysees penuh dengan cafe-cafe orang nongkrong sore itu... Jalan saja kita susah. Liat-liat pakaian di toko baju tapi harganya minta ampun... kaos aja 35 euro, BH 40 euro, celana buntung 32 euro...bussyeeett. Weleh....gak kerasa jalan memutari Paris hampir 9 jam.... Cape bookkkk tapi senang bisa mengunjungi tempat2 yang dulu cuman lihat di buku pelajaran Nouveau Sans Frontiers.

Bersama teman-teman Plan dari Jerman, Inggris dan Brazil waktu Pertemuan Media Anak di Mali, Afrika Barat, Juni 2006

Agustus 2005 Warren Barton, ex midfielder dari New Castle United berkunjung ke Aceh untuk menghibur anak-anak Aceh melupakan trauma tsunami melalui brief coaching sepakbola. Senang bisa melihat anak-anak tersenyum dan bermain 'gaprak-gaprak'-an dengan Warren.

Something to Ponder on

GEORGE CARLIN - comedian of the 70's and 80's - write something so very eloquent... and so very appropriate. In this merry season and joyous month, I would like to share his message with all of you, and wish you a blessing Christmas and a prosperous New Year.

A wonderful message by George Carlin

The paradox of our time in history is that we have taller buildings but shorter tempers, wider freeways, but narrower viewpoints.

We spend more, but have less; we buy more, but enjoy less.

We have bigger houses and smaller families, more conveniences, but less time.

We have more degrees but less sense; more knowledge, but less judgment; more experts, yet more problems; more medicine, but less wellness.

We drink too much, smoke too much, spend too recklessly, laugh too little, drive too fast, get too angry, stay up too late, get up too tired, read too little, watch TV too much , and pray too seldom.

We have multiplied our possessions, but reduced our values.

We talk too much, love too seldom, and hate too often.

We've learned how to make a living, but not a life.

We've added years to life not life to years.

We've been all the way to the moon and back, but have trouble crossing the street to meet a new neighbour.

We conquered outer space but not inner space.

We've done larger things, but not better things.

We've cleaned up the air, but polluted the soul.

We've conquered the atom, but not our prejudice.

We write more, but learn less. We plan more, but accomplish less.

We've learned to rush, but not to wait. We build more computers to hold more information, to produce more copies than ever, but we communicate less and less.

These are the times of fast foods and slow digestion, big men and small character, steep profits and shallow relationships.

These are the days of two incomes but more divorce, fancier houses, but broken homes.

These are days of quick trips, disposable diapers, throwaway morality, one night stands, overweight bodies, and pills that do everything from cheer, to quiet, to kill.

It is a time when there is much in the showroom window and nothing in the stockroom. A time when technology can bring this letter to you, and a time when you can choose either to share this insight, or to just hit “delete”...

Remember spend some time with your loved ones, because they are not going to be around forever.

Remember, say a kind word to someone who looks up to you in awe, because that little person soon will grow up and leave your side.

Remember, to give a warm hug to the one next to you, because that is the only treasure you can give with your heart and it doesn't cost a cent.

Remember, to say, "I love you" to your partner and your loved ones, but most of all mean it. A kiss and an embrace will mend hurt when it comes from deep inside of you.

Remember, to hold hands and cherish the moment for someday that person will not be there again.

Give time to love, give time to speak! And give time to share the precious thoughts in your mind.

AND ALWAYS REMEMBER:
Life is not measured by the number of breaths we take, but by the moments that take our breath away.

BEST WISHES
Julia

Anak & Tsunami

Salam dari Anak Tsunami (2 Tahun Setelah Tsunami)


“Waktu tsunami menghantam, aku lari dengan orang-orang. Semua berteriak “lari-lari, air datang.” Beberapa aku berlari, lalu aku melihat seorang kakak (perempuan muda) meminta tolong karena tubuhnya terhimpit batang pohon.. Lalu aku segera mendekati, mengenggam tangan kanannya dan menarik sekuat tenaga hingga dapat terlepas dari himpitan.” (seorang anak dari Lhok Nga, Aceh Besar)

Anak Tsunami dari empat negara (Indonesia, India, Sri Lanka dan Thailand) bukanlah korban takberdaya. Mereka mampu mengambil peran untuk membantu korban, keluarga dan masyarakat sekitarnya. Namun tidak ada pengakuan akan hal itu. Selain itu, sering kali suara dan pendapatnya tidak dihiraukan dalam masa pemulihan setelah bencana. Apakah hal seperti ini bakal terjadi di Jogyakarta dan Jawa Tengah yang dihantam gempa bumi pada 27 Mei 2006?

Jawabannya mungkin “Ya”, atau mungkin juga “Tidak”. Atau tepatnya, jawabannya tergantung pada kesediaan pihak-pihak yang terlibat dalam pemulihan paska bencana, seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga bantuan internasional, lembaga lokal, dan masyarakat. Kesedian untuk apa? Ada bermacam-macam, namun salah satunya adalah kesediaan untuk mau mendengarkan dan belajar dari pengalaman anak-anak yang langsung dihantam bencana. Untuk sejenak baiklah kita menyimak apa yang katakan ratusan anak korban bencana tsunami yang terjadi satu setengah tahun lalu.

Dalam konsultasi anak yang difasilitasi Plan pada Agustus 2005 di empat negara terlanda tsunami, lebih dari 330 anak yang berusia antara 9 - 17 tahun mengungkapkan apa yang dialami dan peran serta mereka selama dan paska bencana tersebut. Selain itu Plan juga melakukan riset tentang partisipasi anak pada lembaga pemerintah, donor dan lembaga kemanusiaan internasional dan nasional.

Di Sri Lanka anak-anak membantu ibu mereka mengantri untuk mendapat makanan dan pakaian. Ada juga yang ikut serta meningkatkan layanan bantuan dengan menyampaikannya pada orang dewasa. Kelompok anak lain membantu mencari jejak anggota keluarga temannya yang hilang. Mereka juga membantu membungkus paket makanan yang akan didistribusi.

Di Aceh, Indonesia, anak-anak ikut menyarankan pembangunan kembali jalan baru dan membersihkan puing-puing yang dibawa tsunami. Anak-anak menghibur orang tua maupun teman yang mengalami kesedihan. Ada kelompok anak yang mengajar anak balita dan SD di pusat belajar anak yang dibangun lembaga bantuan seperti Plan.

Di India, seorang anak bernama Mala yang sedang mengambil air di pompa, terkaget mendengar orang banyak yang berteriak “Air datang, air menerjang.” Ia segera berlari kepantai mencari ibunya. Ternyata ibunya sedang berlari diantara puluhan orang yang mencoba menghindari air itu. Kemudian matanya tertuju pada tiga teman yang berumur lima tahun. “Bagaimana mungkin saya biarkan mereka?” pikirnya. Lalu ia mengambil gerobak sampah yang kebetulan berada di sana dan mendorongnya kearah dua anak itu. Ia angkat tiga anak itu kedalam gerobak dan berlari menghindari air tersebut.

Di Thailand secara kritis anak-anak mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki hak untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat. Orang dewasa tidak memberi mereka kesempatan karena mereka dianggap masih anak-anak dan tidak memiliki gagasan yang penting. Anak-anak juga mengungkapkan adanya perlakuan yang diskriminatif bagi korban yang berasal dari Thailand, immigran dari Burma atau negara-negara Barat.

Melihat tindak kepahlawanan dan peran serta anak, mengapa anak-anak sulit dilibatkan dalam proses pemulihan paska bencana? Ada beberapa factor yang menjadi penyebabnya, antara lain factor efisiensi dan perlunya aksi yang cepat, koordinasi yang lemah, kurangnya pengalaman dan keahlia, peran media, budaya dan tradisi, dan diskriminasi berdasar SARA.

Bencana maha dashyat abad ini seperti Tsunami yang melanda Samudera Hindia dan menewaskan kurang lebih 200.000 jiwa membutuhkan tanggap darurat yang efisien dan serba cepat. Hal ini terkait dengan kebutuhan penyelamatan jiwa bagi mereka yang selamat namun mengalami cidera dan pada saat yang sama gelombang dana yang terkumpul dan harus diserap dan disalurkan oleh pemerintah dan lembaga kemanusiaan. Kondisi tersebut membutuhkan proyek-proyek yang demikian cepat dan efisien sehingga partisipasi masyarakat terutama anak-anak cenderung terabaikan.

Pengalaman di India menyebutkan bahwa koordinasi berjalan lebih mudah di wilayah dimana tidak banyak lembaga bantuan melakukan intervensi. Sementara di wilayah lainnya, karena liputan media, banyak sekali organisasi yang melakukan aktivitas disana sehingga membuat koordinasi semakin rumit. Di Aceh sendiri, pada tiga bulan setelah Tsunami, tercatat lebih dari 300 lembaga bantuan baik besar dan kecil yang membantu tanggap darurat. Sementara di Sri Lanka, the United nations Humanitarian Information Center (HIC) mendaftar 890 lembaga terlibat dalam kegiatan paska tsunami, dimana hanya 40 lembaga yang berfokus pada anak.

Lembaga bantuan tersebut menggunakan tenaga teknis yang minim akan pemahaman dinamika masyarakat. Masalah-masalah anak lebih dipersempit pada program perlindungan dan psikososial serta pendidikan dan kesehatan. Dengan penyekatan program ini, pengarusutamaan masalah social secara umum dan masalah anak secara khusus menjadi tersisihkan. Masyarakat dicekoki oleh program-program yang bersifat “top-down”. Tenaga ahli yang direkrut lembaga bantuan umumnya bukanlah social mobilizers (penggerak masyarakat).

Anak-anak Tsunami dari Thailand mengkritik organisasi administrasi tingkat kecamatan yang tidak serius membantu korban bencana. “Mereka datang berkunjung apabila semuanya sudah hampir kembali normal…. Dan mereka tidak terus memperhatikan kami,” ungkap anak-anak dari Thachatchai, Thailand.

Liputan media yang sontak hebat atas bencana ini menempatkan semua orang yang tertimpa sebagai korban. Media juga cenderung mengangkat liputan tentang anak-anak yang terpisah dari keluarganya atau yang mengungsi. Sementara anak-anak yang mampu melewati bencana ini secara tepat dianggap memiliki kemampuan luarbiasa. Meskipun demikian, kemampuan dan kekuatan para “korban” ini tidak teridentifikasi oleh para pembuat kebijakan, praktisi bahkan media, sehingga keter’korban’-an anak-anak terus saja ditekankan dan ketergantuan akan bantuanpun semakin tinggi.

Berkonsultasi dengan anak atau melibatkan anak dalam kegiatan memang bukanlah budaya atau kebiasan di empat negara yang dilanda Tsunami. Ada pemikiran bahwa kaum dewasa pasti mengetahui apa yang terbaik bagi anak-anak. Dalam tradisi Thailand, anak dan kaum muda tidak dianggap oleh orang dewasa. Di Aceh, anak harus patuh pada orang tua dan tidak boleh melawan. Seorang anak di Ampara, Sri Lanka mengungkapkan, “Ketika seorang anak memperingatkan keluarganya akan bahaya, ia malah dimarahi. Hal ini terjadi karena suara anak tidak dianggap penting atau anak.”

Terdapat juga diskriminasi terkait gender ataupun SARA, sebagaimana terungkap berikut ini. “Hanya anak laki-laki yang ikut kegiatan yang diselenggarakan lembaga bantuan. Anak gadis tidak ikut perlombaan. Tidak ada perlombagaan bagi anak perempuan. Kegiatan anda (konsultasi anak) merupakan kegiatan pertama yang kami, anak perempuan, ikuti.” kata anak-anak di Ampara, Sri Lanka.

Di India, anak lain berujar, “Tidak ada tempat khusus untuk gadis (untuk sanitasi). Kami sangat kesulitan selama itu. Kami membersihkan kain bekas menstruasi di malam hari dan bangun pagi-pagi untuk mengambilnya setelah kering dijemur. Anak-anak dalam konsultasi juga mengangkat masalah yang dialami kelompok etnik minoritas dan anak cacat yang tidak memperoleh perlakuan selayaknya seperti tidak adanya sarana kelas bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus atau tidak adanya pelayanan bagi anak dari kalangan etnik tertentu.

Lalu mengapa anak-anak perlu dilibatkan dalam beragam kegiatan mulai dari persiapan maupun selama dan paska bencana?

Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak mengungkapkan empat hak utama anak yaitu hak hidup, hak perlindungan, hak tumbuh kembang dan hak partisipasi. Hak hidup dapat terlihat dari perilaku spontan anak pada saat bencana dan masa pemulihan. Hak perlindungan mencakup perlindungan dari situasi yang menghalangi mereka merealisasi hak-haknya. Hak tumbuh kembang mencakup akses kepada layanan pendidikan, psikososial, dan pemulihan mata pencaharian dan lingkungan sekitar. Sementara hak partisipasi dilakukan anak pada fase tanggap darurat, rehabilitasi, rekonstruksi dan penanggulangan risiko bencana dimasa datang.

Di keempat negara tersebut, kebijakan pemerintah atas hak-hak anak terutama partisipasi anak telah dikembangkan berdasarkan undang-undang perlindungan anak yang berlaku di masing-masing negara. Begitu pula kebanyakan lembaga bantuan internasional telah menandatangani Carta Kemanusiaan dan Standard Minimum dalam Tanggap Bencana sebagaimana termuat dalam proyek Sphere, meskipun prinsip partisipasi tidak terfokus secara khusus pada anak.

Dalam kaitan dengan ini, semua anak yang mengikuti konsultasi ini mencoba melihat sejauh mana hak-hak mereka disentuh. Hak hidup bagi anak memang mendapat perhatian dari semua pihak termasuk pemerintah, lembaga internasional dan setempat serta kaum-kaum yang bersimpat. Bantuan spontan pada fase tanggap darurat sangat melegakan hati dunia internasional. Ratusan lembaga bantuan membantu ke masing-masing negara yang dilanda bencana. Semuanya adalah demi menyelamatkan nyawa korban yang selamat. Hak hidup, dalam hal ini termasuk anak, menjadi focus bantuan di tahap tanggap darurat.

Meskipun demikian, karena skala bencana yang besar disertai skala korban dan skala bantuan yang ditawarkan juga besar, menyebabkan ketimpangan. Dan anak-anak melihat ketimpangan ini, sebagai berikut.

“Tidak ada orang yang menanyai kami atau orangtua kami tentang apa yang kami butuhkan. Mereka hanya membawa barang bantuan dan membagikan begitu saja. Karenanya sering terjadi perkelahian karena berebut bantuan. Kami rasa yang salah adalah keduanya, kami dan orang yang membantu. Mereka sebenarnya mendata kebutuhan kami sebelum membawa bantuan,” ungkap seorang anak di Sri Lanka.

Di Thailand, anak-anak bahkan mendapati orang-orang yang tidak berhak menerima bantuan ikut-ikutan meminta bantuan. Mereka juga mengungkap bantuan yang disalurkan melalui birokrasi kecamatan dan desa tidak tepat sasaran dan kalaupun mencapai target, bantuan yang diterima telah menyusut . Pembagian baju juga menjadi kacau karena orang yang bertugas membagi baju, sudah menyortir baju-baju yang bagus untuk dirinya sendiri.

Setelah bencana Tsunami, pemeliharaan anak yatim dan isu perdagangan anak menjadi hal penting yang serta-merta membuat pemerintah dan lembaga internasional dan lokal di semua negara ini mengambil langkah-langkah perlindungan terhadap anak seperti program penyaluran ke panti asuhan. Langkah yang cepat ini memungkinkan terhindarnya praktik perdangangan anak atau perampasan anak.

Hak anak untuk tumbuh kembang terjawab dengan upaya berbagai pihak memalui program pendidikan melalui tenda atau sekolah darurat atau rekonstruksi sekolah. Berbagai lembaga juga mendirikan kawasan ramah anak yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan anak untuk berinteraksi, berekreasi dan bersenang-senang. Kelompok-kelompok anak juga dibentuk untuk melakukan kegiatan yang bersifat mengurangi trauma seperti berteater, bernyanyi, berkisah cerita, olah raga dan lainnya.

Sementara hak anak untuk berpartisipasi dipenuhi pada fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Tingkat partisipasi anak mulai dari tindakan yang bersifat spontan hingga gagasan dan pemikiran mereka. Di Indonesia, anak-anak Aceh dilibatkan secara sistematis. Unicef melalui kegiatan psikososial, mendisain kegiatan yang menjaring pendapat dan merangsang keterlibatan anak. Anak-anak terlibat dalam kegiatan seperti Kongres Anak Aceh, Aceh Bangkit atau seminar hak anak yang diprakarsai Plan dan Universitas Syah Kuala. Di Sri Lanka, Sarvodaya Movement melakukan konsultasi dengan anak, perempuan dan laki-laki di dalam masyarakat nelayan di Hambantota. Keterlibatan anak dalam perencanaan program juga difasilitasi lembaga lain seperti World Vision di Sri Lanka.

Terkait dengan bencana, anak-anak di empat negara yang terlanda Tsunami mencoba menyumbangkan gagasan mereka tentang bagaimana mereka dan masyarakat dapat menjadi semakin siap menghadapi bencana.

Anak-anak ini sangat sadar akan risiko bencana itu, tetapi mereka yakin semakin banyak nyawa bakal tertolong apabila mereka dipersiapkan untuk menghadapi bencana. Gagasan mereka mencakup pengembangan system peringatan dini, rencana evakuasi yang efisien, keluarga yang sadar akan potensi bencana, bekal obat dan dokumen penting saat bencana. Mereka juga merekomendasikan pentingnya pengawasan lingkungan dan penanaman pohon pelindung dari Tsunami; perlindungan terhadap kaum manula, anak-anak, orang cacat, dan kelompok minoritas.

Secara khusus anak-anak Thailand merekomendasikan perlunya mengetahui gejala alam menjelang bencana seperti tsunami atau gunung berapi; perlunya menara peringatan di pantai; perlunya kendaraan untuk penyelamatan diri dengan membawa dokumen penting seperti akte kelahiran, ijazah, buku tabungan, makanan, pakaian, obat; menabung; belajar pertolongan pertama; menulis semua nomor penting. Pada saat bencana mendatang, anak-anak di India menyarankan agar memprioritaskan membantu anak dan manula; mengunci rumah; diajar bagaimana berenang dan memanjat pohon; memprioritaskan penyelamatan nyawa daripada uang atau perhiasan.

Semua anak di keempat negara menyarakan pula kepada semua organisasi yang terlibat dalam bantuan kemanusiaan untuk mengidentifikasi apa yang telah dilakukan dan belum dilakukan di suatu desa pada saat analisa kebutuhan; jangan menganggap “paket relief” cocok di semua negara; perencanaan, implementasi dan pengawasan bantuan harus memperhatikan pandangan anak.

Untuk pemerintah, anak-anak menyarankan perlunya rencana persiapan dan kelola bencana yang mempertimbangkan kapasitas anak dan melibatkan anak dalam setiap fase kegiatan. Mereka juga menyarankan agar setiap rencana penanggulangan bencana dapat dipahami anak maupun kaum dewasa melalui kegiatan berbasis sekolah dan masyarakat.

Untuk lembaga internasional, nasional dan lokal, perlunya meningkatkan dialog terkait kompetensi anak dan mendengarkan aspirasi anak dan kaum muda untuk membangun kapasitas mereka dalam menanggapi bencana dan melatih mereka agar dapat melindungi diri dan sesama.

Suara anak-anak diatas bukanlah suara mereka yang tidak berdaya akibat bencana Tsunami yang dahsyat itu. Sebaliknya, suara-suara ini muncul dari pahlawan-pahlawan kecil Tsunami yang tanpa tanda jasa dan tanpa pengakuan. Suara-suara mereka muncul dari kesadaran anak-anak ini akan pentingnya keterlibatan mereka dalam proses pra, selama dan paska bencana.

Namun, titik kritisnya adalah pada pertanyaan ini. Bersediakan semua pihak yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan di Aceh mapun di Yogyakarta dan Jawa Tengah untuk mengajak anak-anak berperan serta dalam perencanaan, implementasi dan pemantauan kegiatan mereka? Silakan anda membalas salam anak-anak Tsunami ini. *** (Paulan Aji/ Plan, 2006)


Sumber:
Children and the Tsunami “Engaging with children in disaster response, recovery and risk reduction: learning from children’s participation in the tsunami response”. Plan. 2005.
Tsunami- Six Month After. Plan. 2005.